Kamis, 27 Maret 2014

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA DARI MASA KE MASA



 SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK PEMERINTAHAN ORDE LAMA SAMPAI DENGAN ERA REFORMASI




A. Ekonomi Indonesia pada masa orde lama (1950-1966)

1. Demokrasi Liberal
 
a. Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959).

Kondisi Ekonomi Indonesia pada masa liberal masih sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Bangsa Indonesia menanggung beban keuangan dan ekonomi, seperti yang telah ditetapkan dalam hasil KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
2. Politik Keuangan Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang di Belanda.
3. Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
4. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan sangat meningkat.
5. Defisit yang harus ditanggung pemerintah RI pada waktu itu sebesar Rp. 5,1 miliar.
6. Ekspor Indonesia hanya bergantung pada hasil perkebunan.
7. Angka pertumbuhan jumlah penduduk besar.
Defisit itu berhasil ditanggulangi oleh pemerintah dengan pinjaman luar negeri sebesar Rp. 1,6 miliar. Selanjutnya melaui sidang uni Indonesi-Belanda disepakati kredit sebesar Rp.200juta dari Negeri Belanda. Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan pemerintah adalah:
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar.
2. Mengatasi kenaikan biaya hidup.
Sementara itu masalah jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.

b. Usaha untuk memperbaiki perekonomian.

1. Gunting Syarifuddin

Kebijakan gunting syarifuddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini dilakukan pada tanggal 20 maret 1950 dengan cara memotong semua uang memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 keatas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan keuangan ini dilakukan pada masa pemerintahan RIS oleh menteri keuangan pada waktu itu Syarifuddin Prawiranegara.

2. Program Benteng (benteng group)

Gagasan program benteng dituangkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dalam program kabinet Natsir (September-April 1951). Pada saat itu Sumitro menjabat sebagai menteri perdagangan. Selam 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program Benteng ini. Akan tetapi, tujuan dari program ini tidak dapat dicapai dengan baik. Kegagalan program ini disebabkan para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan perusahaan non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal. Kegagalan Program Benteng menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Walaupun dilanda krisis moneter, namun menteri keuangan pada masa kabinet sukiman, Jusuf Wibisono masih memberikan bantuan kredit, khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah. Dengan memberikan bantuan tersebut diharapkan masih terdapat pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.

3. Nasionalisasi de javasche bank

Pada tanggal 19 Juni 1951, kabinet Sukiman membentuk nasionalisasi De Javasche Bank. Kemudian berdasarkan keputusan-keputusan pemerintah RI N. 122 dan 123, tanggal 12 Juli 1951, pemerintah memberhentikan Dr. Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank dan mengangkat Syarifuddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank yang baru. Pada tanggal 15 Desember 1951 diumumkan Undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai Bank sentral dan Bank Sirkulasi.

4. Sistem Ekonomi Ali-Baba

Diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo, menteri perekonomian dalam kabinet Ali Sastroamijoyo I. Dalam sistem ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi, sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusah non pribumi. Dalam kebijakan Ali Baba, pengusaha non pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Selanjutnya, pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swata nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik, sebab pengusah pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan lat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

5. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa pemerintahan kabinet Burhanuddin Harahap dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan sebagai berikut:
· Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
· Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
· Hubungan Finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangani persetujuan ini, maka pemerintah RI mengambil langkah sepihak. Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sebagai tindak lanjut daripembubaran uni tersebut, pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya, banyak pengusaha-pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda tersebut.

6. Rencana Pembangunan Lima tahun (RPLT)

Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Rencana Undang-Undang tentang rencana Pembangunan ini disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Pembiayaab RPLT ini diperkirakan mencapai Rp. 12,5 miliar. RPLT ini tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
· Adanya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
· Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
· Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakannya masing-masing.

7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)

Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa Kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat diredakan dengan diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat berjalan dengan baik karena menemukan kesulitan dalam menemukan prioritas. Selain itu ketegangan politik yang tak bisa diredakan juga mengakibatkkan pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk mengatasi pemberontakan ini diperlukan biaya yang sangat besar sehingga emningkatkan defisit. Sementara itu ketegangan politik antara Indonesia dengan Belanda menyangkut Irian Barat juga memuncak menuju konfrontasi bersenjata.

2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Strukur Ekonomi Indonesia pada waktu itu menjurus kepada sistem etatisme, artinya segala-galanya diatur dan dipegang oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan ekonomi banyak diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah, sedangkan prinsip-prinsip ekonomi banyak yang diabaikan. Akibatnya, defisit dari tahun ke tahun meningkat 40 kali lipat. Dari Rp. 60,5 miliar pada tahun 1960 menjadi Rp. 2.514 miliar pada tahun 1965, sedangkan penerimaan negara pada tahun 1960 sebanyak Rp. 53,6 miliar, hanya meningkat 17 kali lipat menjadi Rp. 923,4 miliar . Mulai bulan Januari – Agustus 1966, pengeluaran negara menjadi Rp. 11 miliar, sedangkan penerimaan negara hanya Rp. 3,5 miliar. Defisit yang semakin meningkat ditutup dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Akibatnya menambah berat angka inflasi.
Dalam rangka membendung inflasi dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya tentang penurunan nilai uang (devaluasi) sebagai berikut.
1. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50.
2. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1000 menjadi Rp. 100.
3. Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Usaha Pemerintah ini tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru bagi ekonomi secara menyeluruh, yaitu Deklarasi Ekonomi (Dekon). Dekon dinyatakan sebagai dasar ekonomi Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum Revolusi Indonesia. Tujuan dibentuknya Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demkratis dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya, Dekon mengakibatkan stagnasi dalam perekonomian Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok. Pada tahun 1961-9162 harga barang-barang pada umumnya naik 400%. Politik Konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.
Pada tanggal 13 Desember 1965 melalui penetapan Presiden No. 27 tahun 1965, diambillah langkah devaluasi dengan menjadikan Uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1. Sehingga uang rupiah baru semestinya bernilai 1000 kali lipat uang lama. Akan tetapi didalam Masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi uang rupiah baru. Akibatnya, tindakan moneter pemerintah menekan inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Pada masa Demokrasi terpimpin ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan oleh pemerintah. Akibatnya pemerintah harus mengadakan peneluaran-pengeluaran yang sangat besar, sehingga harga-harga kebutuhan pokok makin melambung tinggi. Tingkat harga paling tinggi terjadi pada tahun 1965, yaitu sebesar 200%-300% dari tahun sebelumnya, seiring dengan ekspor yang semakin lesu dan impor yang dibatasi karena lemahnya devisa.
Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, Presiden Soekarno merasa perlu untuk mempersatukan semua bank negara kedalam satu bank sentral. Untuk itu dikeluarkan penpres No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank Tunggal Milk Negara. Tugas bank tersebut sebagai bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan itu maka dilakukan peleburan bank-bank negara Seperti Bank koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan negara, Bank Negara Indonesia kedalam Bank Indonesia. Selanjutnya dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan pekerjaan dan tugas masing-masing.

B. Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Pada permulaan Orde Baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan poko rakyat. Tindakan pemerintah tersebut dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650% setahun. Hal itu menjadi penyebab dari kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah.
Arah dan kebijakan Ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Orde Baru diarahkan pada pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan orde baru bertumpu pada program yang dikenal dengan sebuah program yang dikenal dengan Trilogi Pembangunan, yaitu sebagai berikut.
a) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b) Pertumbuhan eoknomi yang cukup tinggi.
c) Stabilitas nasional yabg sehat dan dinamis.
Pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) dilakukan orde baru secara periodik 5 tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)

Tujuan dari Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar –dasar pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya. Sasaran yang hendak dicapai ialah pangan, sandang, papan, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menekankan kepada pembangunan bidang pertanian.

b) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)

Sasaran utama Pelita II yaitu tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.

c) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)

Pelita III menekankan pada Trilogi Pembangunan dengan tekanan pada asas pemerataan, yaitu :
· Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak (pangan, sandang dan papan);
· Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
· Pemerataan pembagian pendapatan;
· Pemerataan kesempatan kerja;
· Pemerataan kesempatan berusaha;
· Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalm pembangunan;
· Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
· Pemerataan memperoleh keadilan.

d) Pelita IV (1 April 1984 – 13 Maret 1989)

Pada titik ini pemerintah lebih menitikberatkan kepada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.

e) Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)

Pada Pelita ini pemerintah menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.

f) Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)

Pada Pelita VI Pemerintah masih menitikberatkan pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

C. Ekonomi Indonesia Pada Masa Transisi

Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’. Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah memburuk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp. 2.500 menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak stabil.
• Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisi ekonomi yang kemudian memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
• Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.

D. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri jufga sudah mulai stabil.
  • Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesai, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
  • Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
  • Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
E. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden Megawati Soekarnoputri

Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain : .
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun. .
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan- kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. . .
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

A.  Pengertian Gotong Royong

            Gotong royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah dan ringan.
            Selain itu gotong royong juga merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama - sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama - sama dengan musyawarahpantunPancasilahukum, adat , ketuhanan,  dan  kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar Filsafat Indonesia seperti yang dikemukakan oleh M. Nasroen

B.  Sejarah Kabinet Gotong Royong

Pada pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Golkar mendapat posisi kedua, yang sebenarnya cukup mengejutkan banyak kalangan di masyarakat. Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR dan pemilihan presiden diselenggarakan pada tanggal 20 oktober 1999. KH Abdurachman Wahid atau yang dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai preside RI keempat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden.
Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada didalam negeri. Akan tetapi ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih sebagai presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulau menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan – ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku – pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktik KKN dan dilingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan daripada gerakan reformasi. Karena banyaknya permasalahan ekonomi yang muncul maka pada Maret 2001 istana presiden dikepung para demonstran yang menuntut presiden Gus Dur mundur.
            Setelah presiden wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesia yang kelima. Kabinet yang dipimpinnya berlandaskan prinsip Gotong Royong dan  dilantik pada tahun 2001 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2004.
            Pemberian nama Kabinet Gotong royong merupakan gambaran bahwa pemerintahan saat itu dijalankan secara kolektif dengan merangkul berbagai kekuatan politik untuk bekerjasama dengan semangat kebersamaan[1][1]. Selain itu  kata gotong royong dipilih untuk merekonsiliasi atau mempersatukan bangsa Indonesia dalam semangat membangun kembali. kabinet gotong royong melakukan terobosan dimana masyarakat bergerak sendiri ( gerakan dari bawah dimana masyakat mengenal ada suatu usaha yang perlu dilakukan untuk mencapai  kesejahteraan bersama dan mereka melakukan gerakan grass - root secara sukarela.
            Dan hal yang paling utama adalah gotong royong menjadi jembatan untuk mewujudkan kelima sila pancasila dalam kehidupan berbangsa, beregara dan eksistensi dalam pergaulan internasional. Sebagaimana kata Bung Karno dalam pidatonya tentang Pancasila 1 Juni 1945“…dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi…itulah jalan untuk meraih keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

C.  Keadaan Perekonomian Pada Masa Kabinet Gotong Royong 

Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gusdur. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya investor swasta, baik dalam negeri mauoun swasta. Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi perekonomian Indonesia pada pemerintahan Megawati lebih baik. Namun tahun 1999 IHSG cenderung menurun, ini disebabkan kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi investor, kedua disebabkanoleh tingginya suku bunga deposito.[2][2] Sementara itu inflasi yang dihadapi kabinet gotong royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut BPS, inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati tingkat inflasi sudah mencapai 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan selama periode juli 2000 - juli 2001 sudah mencapai 13,5%.
Inflasi Tahun 2004 Dipatok 6,5% [Jakarta-PSB/5 Januari 2004]. Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat memperkirakan inflasi 2004 sebesar 6,5%. Angka itu turun dari angka inflasi 7% yang diajukan pemerintah dalam nota keuangan, Agustus 2003.
            ‘’Dengan inflasi yang rendah, diharapkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) juga akan terus menurun, berakibat bunga kredit juga menurun,’’ kata Sugeng Waluya, anggota Panitia Anggaran, saat membacakan hasil keputusan rapat Panitia Kerja Fiskal dan Moneter di gedung parlemen, Kamis (6/11).
            Walau demikian, kurs rupiah dan tingkat suku bunga SBI perlu diberi ruang terhadap resiko fiskal yang mungkin terjadi pada 2004. Pasalnya, Indonesia menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) dan tidak terikat lagi dengan program Dana Moneter Internasional (IMF).  Komentar Menteri Keuangan? ‘’Sangat realistis,’’ kata Boediono. Menurutnya, sangat masuk akal jika inflasi 2004 ditargetkan 6,5% dengan melihat laju inflasi tahun 2003.  Boediono juga optimis, laju inflasi 2003 mencapai di bawah 6%. ‘’Pemilu tidak akan mengganggu laju inflasi, walau diperkirakan tingkat konsumsi meningkat. Tergantung arus barangnya juga,’’ katanya.
            Sebelumnya, Deputi Bidang Inflasi Badan Pusat Statistik Ali Rosidin dalam konfrensi pers, Jumat siang (2/01) menyampaikan, inflasi Indonesia pada 2003 berada di nilai terendah, jika dilihat dari data dari 1989 - 2003.
            Dari data BPS, inflasi Indonesia pada 1999 adalah 2,01%, sedangkan 2000, 9,35 %. Pada 2001, meningkat menjadi 12,55 %, lalu menurun pada 2002 menjadi 10,03 %. Dan pada 2003 ini, inflasi Indonesia, 5,06 %.
            Nilai inflasi Indonesia pada lima tahun belakangan ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan inflasi pada tahun-tahun sebelumnya. Contohnya saja pada tahun 1998, saat Indonesia mengalami krisis moneter, inflasi Indonesia mencapai 77,63 %. Panitia Kerja yang merampungkan pembahasan selama Oktober 2003, juga menyepakati pertumbuhan ekonomi dipatok sebesar 4,8 % dengan nilai tukar rupiah Rp. 8.600 per dolar Amerika Serikat, tingkat bunga SBI 8,5 %. ‘’Harga minyak sebesar US$ 22 per barel dengan produksi per hari sebesar 1.150 juta barel. Produk Domestik Bruto sebesar 1.999,6 triliun,’’ kata Sugeng.
            Dewan juga menetapkan pendapatan negara dan hibah 2004 sebesar Rp 349,9 triliun yang diperoleh dari penerimaan pajak sebesar Rp 272,17 triliun dan penerimaan bukan pajak Rp 77,12 triliun. Selain itu, DPR juga memberi keleluasaan kepada pemerintah untuk menerbitkan obligasi dalam dan luar negeri. Tahun depan, pemerintah mengajukan penerbitan obligasi luar negeri senilai US$ 400 juta dan obligasi dalam negeri senilai Rp 28 triliun. Dari asumsi dasar RAPBN 2004, diperkirakan defisit anggaran 2004 mencapai Rp 23,032 triliun atau 1,2 % Produk Domestik Bruto. [ti/dz]
Keadaan perekonomian Indonesia pada masa kabinet gotong royong dapat terlihat melalui tabel dibawah.
Tabel 1
Perkembangan Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia
Sejak Krisis 1998
Indikator
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Pertumbuhan PDB riil (%)
-13,1
0,8
4,9
3,8
4,3
4,9
5,1
5,7
5,5
6,3
PDB nominal (miliar US$)
96
140
166
164
200
239
258
287
364
433
PDB per kapita ( US$)
977
694
742
697
948
1117
1191
1308
1641
1925
Pertumbuhan ekspor (%)
-8,6
-0,4
27,7
-9,3
5,0
8,4
12,0
19,7
17,7
13,2
Pertumbuhan impor (%)
-34,4
-12,2
39,6
-7,6
15,1
10,9
27,8
24,0
5,8
22,0
Neraca perdagangan (miliar US$)
21,5
24,7
28,6
25,4
23,5
24,6
21,2
28,0
39,7
39,6
Transaksi berjalan (% PDB)
4,3
4,1
4,8
4,2
3,9
3,4
1,1
0,1
3,0
2,5
*prediksi
Sumber: Citigroup, Tulus T.H.Tambunan. 2009. perekonomian Indonesia. Hlm 35
Berdasarkan tabel diatas,  dapat kita  simpulkan bahwa dalam era Megawati kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan di tabel 1, pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS tahun 2004; demikian juga pendapatan perkapita meningkat dengan presentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar AS selama periode Megawati. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5%  tahun 2002 dibandingkan -9,3% tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12%  tahun 2004. Kinerja impor juga ikut membaik dengan pertumbuhan 15,1% tahun 2002 dibandingkan -7,6% tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 27,8% tahun 2004. Namun demikian neraca perdagangan (NP), yakni saldo ekspor (X) – impor (M) barang, maupun transaksi berjalan (TB), sebagai presentase dari PDB, mengalami penurunan..
IHSG juga cenderung menurun sejak 1999, yang bisa mencerminkan dua hal. Dalam hal perbankan, dapat dikatakan bahwa sektor perbankan merupakan faktor penghambat terbesar terhadap proses pemulihan ekonomi Indonesia sejak krisis tahun 1997, termasuk pada masa pemerintahan Gotong Royong.  Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga Political and Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC) terhadap perbankan di 14 negara di Asia Pasifik tahun 2002 (yang di publikasikan awal Mei 2002), perbankan Indonesia berada di urutan terendah dalam hal standar dan kualitas dengan indeks 2,06; sedangkan teratas adalah AS dengan indeks 9,3.
      Rendahnya pertumbuhan ekonomi dikarenakan masih kurang berkembangnya investasi terutama disebabkan oleh masih tidak stabilnya kondisi sosial politik dalam negeri.

F. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden Susilo Bambang Yuudhoyono

Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif. .


Analisa yang di dapat  :
"......Pendapat saya tentang, sejarah ekonomi indonesia dari masa kemasa, mulai dari masa orde lama sampai dengan era reformasisangat lah berbeda. dimulai dari masa demokrasi liberal dengan perekonomian indonesia yang sangat buruk dengan berbagai aspek penyebab hal itu terjadi mulai dari ideologi, politik, ekonomi ,sosial , budaya, pertahanan dan keamanan sangat tidak baik . oleh karena itu disinilah posisi indonesia yang sangat tidak mendukung untuk memasyarakatkan kesejahteraan indonesia.kemudian dengan berbagai aspek , perencanaan, sistem ekonomi dan berbagai tahapan pelaksanaan yang dilaksanakan oleh beberapa orang dari berbagai sumber indonesia menuju hal yang lebih baik dari kondisi masa demokrasi liberalisme. tapi , walaupun masih jauh dari kata kata sejahtera menurut UUD 1945. kemudian indonesia  bergerak pada sistem ekonomi terpimpin yang berpusat pada pemerintah yang menjadi sumber pembuat kep[utusan yang pertama dan terakhir yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun pihak. berbeda dengan ekonomi terpimpin , setelah itulah indonesia masuk pada masa orde baru yang berbanding terbalik dengan  pada masa terpimpin. indonesia mulai fokus pada perewkonomian yang bertujuan untuk sepenuhnya kesejahteraan dan kebutuhan masyarakat.dengan beberapa usaha dan berbagai sistem ekonomi dari beberapa pimpinan presiden yang pada saat itu menjabat menjadi presiden indonesia. tentunya untuk memajukan dan meningkat kan ekonomi indonesia dari masa dahulu , sekarang dan akan maju di kemudian hari . walaupun memang tidak mudah untuk hal tersebut tapi dengan usaha dan keyakinan yang sangat besar dari seluruh masyarakat pasti akan bisa dan terwujud. memang saat ini sangat jauh dari hal tersebut dengan tiga masalah terbesar yang saat ini di hadapi antara lain birokrasi, korupsi dan infrastruktur yang jauh dari kata baik......"









DAFTAR PUSTAKA
Mustofo, Habib dkk. 2006. Sejarah XII Untuk Program IPS. Jakarta; Yudhistira.